Peran Mahasiswa Dalam Melawan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus
Ketidakadilan gender selalu menjadi masalah bagi kehidupan keseharian kita, tak terkecuali dalam perguruan tinggi. Dari mulai kasus kekerasan seksual, kepemimpinan laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, hegemoni kepemimpinan maskulin, objektifikasi terhadap perempuan, dan masih banyak lagi. Permasalahan diatas banyak dialami oleh perempuan, dikarenakan perempuan dipandang sebagai manusia yang lebih rendah daripada laki-laki dan menganggap laki-laki memiliki peran lebih besar dari perempuan hal ini sering kita sebut budaya patriarki (Apriliandra & Krisnani, 2021). Budaya patrarki ini membentuk pemikiran masyarakat, sehingga diyakini dan diimani oleh masyarakat yang dimanapemikiran tersebut merugikan perempuan,yang akhirnya terjadilah masalah ketidakadilan gender seperti disebutkan diatas.
Cita-cita perjuangan untuk mencapai keadilan gender yang dimana relasi
antar perempuan dan laki-laki tidak saling mendominasi, tidak mendiskriminasi,
dan saling menghormati satu sama lain.Keadilan genderpun sesuai dengan ajaran
agama islam yang telah Rasulullah SAW perjuangkan. Pada masa jahiliyah,
perempuan seperti barang yang bisa dijual dan ditukar, perempuan juga dipandang
sebagai manusia yang lebih rendah dari binatang. Kemudian budaya jahiliyah ini berubah
semenjak datangnya Rasulullah SAW. Yang dimana perempuan menjadi lebih dihargai
,dihormati dan dipandang secara luhur. Sangat disayangkan islam yang telah Rasulullah
SAW bawakan untuk menghargai dan mengangkat derajat perempuan berbanding
terbalik dengan praktek yang terjadi saat ini. Ketidakadilan yang terjadi tentu
saja bukan watak dari agama itu sendiri melainkan
pengaruh dari ideologi, budaya dan politik.
Di Indonesia,dengan perkembangan dan perubahan zaman, perempuan dan
laki-laki mempunyai akses yang sama dalam hal pendidikan. Hal ini tidak terjadi
begitu saja ,melainkan perempuan mendapatkan akses pendidikan berkat perjuangan
perempuan itu sendiri. Saat ini masalah ketidakadilan gender bukan saja dalam memperjuangkan
akses pendidikan yang setara, melainkan perjuangan untuk melawan bentuk-bentuk kekerasan
seksual. Komnas perempuan mencatat dalam catatan tahunan pada tahun 2022 di provinsi
jawa barat, menyebutkan jumlah kasus kekerasan seksual perempuan mencapai
58.395 orang, dengan memaparkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di
perguruan tinggi menempati urutan pertama. Tentu ini menjadi tantangan bagi kita
semua untuk melawan kekerasan sekusal, khususnya dalam perguruan tinggi. Menurut
penelitian lain disebutkan bahwa satu dari tiga perempuan dalam rentan usia
15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan seksual maupun kekerasan fisik,
hal ini disebutkan oleh Indonesian National Women’s Life Experience Survey
(2016 SPHPN): Study on Violence Against Women and Girls (Apriliandra & Krisnani, 2021). Melihat sejumlah data dari berbagai penelitian serta melihat
kenyataan yang ada dilapangan, tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan lebih
banyak mendapatkan ketidakadilan gender sampai saat ini, khususnya dalam kasus
kekerasan seksual. Akan tetapi, bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi
korban kekerasan seksual.
Adanya UU TPKS yang sudah disahkan pada tahun 2020 adalah bentuk perjuangan
perempuan yang salah satunya adalah menghapus kekerasan seksual di Indonesia,
perjuangan untuk mensahkannyapun tidak mudah, banyak sekali proses yang
diperjuangkan. Lalu, setelah UU TPKS disahkan,
Permendikbudriset No. 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual menyusul untuk disahkan. Memang ,saat ini sudah banyak hukum yang
dibentuk untuk mencegah tindak kriminal berupa kekerasan seksual, akan tetapi hukum
tidak akan ada artinya apabila tidak diinplementasikan. Dasar hukum yang
dibentuk ini merupakan respon dari masyarakat maupun pemerintah bahwa kekerasan
seksual tidak bisa untuk dibiarkan begitu saja, dan harus ada hukuman yang
sangat jera bagi pelaku.
Sebagai mahasiswa, kita mempunyai peranan penting dalam mengubah
kondisi masyarakat ,mengingat mahasiswa adalah agen of change danagen of
control, hal ini tentu mengharuskan mahasiswa menjadi pelopor untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual dilingkungan kampus, sekaarang ini berrbagai kampus mulai membentuk
satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, adanya satgas
ini diharapkan agar kasus kekerasan seksual tidak terjadi lagi dan menciptakan lingkungan
pendidikan yang aman dan nyaman. Berbagai berita yang kita dapati ,bahwa kasus kekerasan
seksual yang terjadi dilingkungan kampus dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa.
Bahkan setelah dibentuk satgas pencegahan dan penangan kekerasan seksualpun
,masih banyak rektor dan para pimpinan dalam kampus mengabaikan dan menganggap bukan
masalah yang serius. Atas nama baik kampus dan relasi kuasa yang timpang kasus kekerasan
seksual menjadi sulit untuk dihapuskan.
Hal ini harus menjadi perhatian kita bersama untuk menguapayakan dan
menyadarkan bahwa kekerasan seksual dalam bentuk apapun bukan masalah yang
sepele, khususnya menyadarkan dari mulai keluarga, teman, mahasiswa serta
masyarakat umum untuk peduli terhadap korban
kekerasan seksual. Tak jarang pelaku kekerasan seksual dari mahasiswa itu sendiri
dan tak banyak para pelaku merupakan senior organisasi, seorang aktivis kiri.
Sebagai mahasiswa yang harus kita lakukan yaitu memberi pemahaman gender yang komprehensif dan
progresif, melakukan upaya seperti kampanye dan menyebarluaskan mekanisme pelaporan
kekerasan seksual, serta menyebarkan informasi tentang kekerasan seksual,
bekerja sama dengan pihak kampus untuk mendukung dan menegakan dasar hukum
kekerasan seksual, mendukung dan membantu korban sehingga kampus yang ada di
Indonesia aman dari kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual adalah masalah
kita bersama dan patut kita perjuangkan untuk mencegahnya. Tentu semua itu
hanyalah angan-angan apabila tidak adanya peran. Tak hanya peran dari
mahasiswa, tetapi peran masyarakat, ulama, penegak hukum dan lain sebagainya untuk mencegah dan menghapus terjadinya
kekerasan seksual di Indonesia.
Daftarpustaka
https://www.bps.go.id/indicator/40/463/1/indeks-pembangunan-gender-ipg-.html
Apriliandra, S., & Krisnani, H. (2021). PERILAKU
DISKRIMINATIF PADA PEREMPUAN AKIBAT KUATNYA BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA
DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONFLIK. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 3(1),
1. https://doi.org/10.24198/jkrk.v3i1.31968.
Komentar
Posting Komentar